Kamis, 23 Oktober 2008

Bissu’ : Penasihat Spiritual Raja Yang Feminim


Oleh : wiko rahardjo
Mereka adalah para pria yang tidak menikah selama hidupnya. Hidup mereka dihabiskan sepenuhnya untuk mengabdi kepada Dewata dan Raja-raja di Sulsel.
Salah satu bagian penting dalam ritual pembuatan perahu pinisi adalah kehadiran bissu’. Pasalnya, bissu atau pendeta Bugis kuno ini akan berperan dalam menentukan hari baik dan hari buruk, mengatur prosesi adat, menyiapkan peralatan upacara, dan berbagai ritual lainnya yang lekat dengan masyarakat Bugis. Dalam epos La Galigo, bissu’ dianggap sebagai manusia suci, keturunan para dewa. Sehingga dalam stuktur kerajaan di Sulsel, bissu merupakan penasihat spiritual dan rohani para raja.
Saat mengunjungi Makassar, saya diajak untuk menemui Zaidi Puang Matoa, seorang pemimpin tertinggi komunitas bissu’ sewilayah Sulsel. Ia tinggal dalam komunitasnya di Desa Segeri, Kabupaten Pangkajene. Ada yang menarik ketika saya bertemu dengannya.
Gerak dan sikap yang ditunjukan Zaidi begitu lemah gemulai layaknya wanita. “Terkadang ada yang menyamakan komunitas bissu’ dengan waria,” terang Zaidi yang sudah menjadi bissu sejak usia 13 tahun. Dari segi sikap, ia memang mirip waria padahal ia lelaki tulen. Namun jangan salah, ia tidak menyukai dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan sejenisnya dan tidak menikah selama hidupnya.
"Keputusan tidak menikah adalah untuk menjaga kesucian bissu’," kata Zaidi. Bukan apa-apa, pasalnya tidak sembarang orang bisa menjadi bissu’. Karena itu bissu’ dianggap sebagai titisan dari para dewa atau leluhur mereka.
Zaidi dan rekan-rekan bissu’ lainnya memiliki rambut panjang tergerai hingga ke punggung. “Ketika rambut ini digunting maka sakit yang kami rasakan akan luar biasa,” jelas Zaidi. Karena itu bissu’ dianggap memiliki keahlian supranatural yang alami.
Namun dalam hal agama, mereka adalah orang-orang penganut islam yang taat. “Kami melakukan sembahyang dan berpuasa layaknya muslim, dan dewata adalah sebutan kami untuk Allah,” ujar Zaidi. Sekarang menurut Zaidi, hanya tersisa sekitar 20 orang bissu’ saja di Sulsel.
Mereka kerapkali diminta untuk memimpin berbagai macam upacara adat. Seperti pembuatan perahu, pelantikan petinggi masyarakat adat maupun penyambutan tamu-tamu besar di Sulsel dan upacara-upacara adat lainnya di Sulsel.